UNFORGETTABLE LAPINDO : KINI JADI WISATA

29 Mei 2006, saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, tepatnya kelas 5 SD. Seluruh teman-teman saya berlarian dan saling menangis mendengar kabar bocornya perusahaan pengeboran migas, Lapindo Brantas.

Tangis kami pecah, saling bertanya sesederhana pemikiran bocah. Bagaimana jika kita tidak akan bertemu lagi? Bagaimana dengan persahabatan yang sudah kami bangun bersama? Akan kemana kami setelah ini? Sungguh kami benar-benar terpukul pada hari itu.

Terlebih saat hujan turun, kami takut bendungan lumpur lapindo yang sangat tinggi meluap dan membanjiri daerah lain lagi.

Alhamdulillah, rumah saya tidak termasuk diantara lebih dari 640 hektare rumah, pabrik, sekolah dan seluruh tanah yang terendam oleh luapan lumpur panas lapindo yang hingga saat ini masih terus mengeluarkan cairan tanpa henti. Tapi, bukan berarti saya tidak merasakan kekhawatiran dan kesedihan. Jantung saya berdebar setiap kali melintas di depan tanggul.

Bagaimana jika saat itu saya menjadi salah satu dari korban yang ada? Bagaimana dengan keadaan anak-anak lain yang harus kehilangan orang tua dan saudara-saudaranya. Saya nggak sanggup meneruskan imajinasi yang bergelut di kepala saya.

Sedikit cerita masa kecil juga, saya cukup sering traveling ke Bali. Dulu, ketika tragedi lapindo belum mencuat, setiap kali saya ditanya asal, selalu saya jawab Surabaya, bagian terdekat Kabupaten Sidoarjo. Tapi setelah Lapindo diberitakan dimana-mana, saya hanya menyebut Porong, salah satu kecamatan kecil di Sidoarjo, mereka langsung paham dan hafal. Lengkap dengan "bumbu" sok akrab, "Oh Porong? Lapindo ya? Bagaimana itu? Kena semburannya?". Halah, pertanyaan template!

Hari ini kaki saya tiba-tiba gatal ingin jalan-jalan. Selama libur lebaran, saya manfaatkan semaksimal mungkin untuk stay di rumah, melaksanakan tugas sebagai anak yang solehah gitu deh, dengan membantu kedua orangtua di rumah. Ehm, udah ada yang berniat ngepek mantu belum nih? Haha.

Keadaan jalan diatas tanggul lumpur.
Sebelah kanan adalah lumpur dan sebelah kiri adalah turunan menuju jalan raya

Tangga untuk berjalan kaki dari parkiran menuju tanggul

Jalan untuk pengguna sepeda motor menuju tanggul

Alhasil, suatu hari saya seliweran di jalan raya utama Malang-Surabaya. Saya melihat tanggul yang semakin hari semakin tinggi lengkap dengan jaring-jaring yang terbuat dari besi untuk menjaga tanggul agar tetap kokoh. Tanggul ini terletak disebelah timur mata angin.

Wisata Lumpur Panas

Saya melirik tulisan Wisata Lumpur Panas, masuk. Sebenarnya, bukan kali pertama saya lewat dan melihat tulisan tersebut. Tapi saya kok lama-lama miris melihat bencana ini dijadikan sebagai wisata. Dzat khusdudzon saya muncul, mungkin inilah wisata sejarah. Tanpa pikir panjang, saya membelokkan setir ke arah tanggul. Tidak lama dari situ motor saya diberhentikan seorang bapak dan dimintai biaya masuk Rp. 10 ribu/orang tanpa diberi karcis bertuliskan “wisata”.

Tarif Parkir dan Tiket masuk
Area Parkir mobil dan bus

Inikah yang disebut tempat wisata? Hamparan duka yang sangat mirip gurun. Bedanya, masih ada sedikit pohon yang betah tumbuh dipinggiran tanggul. Pohon yang digunakan tukang ojek (yang sesekali berubah profesi menjadi guide) berteduh menunggu penumpang yang ingin diantar naik keliling tanggul. Saya yang membawa motor tidak perlu naik ojek, tapi pengunjung yang membawa mobil atau pergi bersama naik bus, bisa memilih untuk berjalan kaki atau naik ojek.

Kepulan asap lumpur lapindo dan hamparan lumpur yang sudah mengering

Bagian tanggul yang masih dekat dengan jalan raya mengering. sekitar ratusan meter di depannya adalah kepulan asap lumpur yang masih menguap. Bagian yang dekat dengan semburan lumpurlah yang masih tampak basah.

Dulu, sekitar 110 patung lumpur diciptakan oleh seorang seniman menjelang perayaan ke 8 tahun menyemburnya lumpur lapindo. Awalnya utuh, dari ujung kaki ke ujung kepala berdiri tegap. Posisi kedua tangan menengadah menggambarkan duka, sambil membawa beberapa peralatan rumah tangga yang berlumur lumpur. Sayang, saat ini tinggallah patung tersebut sebatas bahu.

Patung-patung yang saat ini tersisa sebatas bahu.

Secara sapta pesona atau standart suatu tempat dikatakan layak sebagai tempat wisata, lumpur lapindo jelas tidak layak sama sekali. Tujuh unsur yang seharusnya ada ialah Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, dan Kenangan. Sedangkan kita tahu, bahwa lumpur lapindo bukanlah dongeng Danau Toba dan Pulau Samosir! Sekalipun suatu hari nanti hanya menjadi kenangan, tetap saja tujuh unsur sapta pesona tidak terpenuhi.

Saya bukannya tidak setuju jika orang-orang mendapatkan "pekerjaan" dari bencana lumpur. Sebenarnya, saya lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan mereka. Migas yang harusnya tidak dihirup, malah menjadi area "ngopi" bagi mereka. Dan lagi, bencana kok dikomersilkan?

Saya hanya berharap, semoga pembaca setia cukup bijak dalam menerima kisah jalan-jalan yang sedikit emosional dan nampak subjektif ini. Nggak ada yang lain, selain kehidupan yang lebih baik yang saya panjatkan dalam setiap do'a untuk kita semua, khususnya korban "bencana alam" Lumpur Lapindo Sidoarjo.

Yang paling perlu diingat adalah, seburuk apapun keadaannya, inilah kampung halaman yang akan tetap saya banggakan di depan banyak orang.

Sidoarjo, 5 Juli 2017

Komentar

  1. patungnya ternyata tinggal sebahu ya mbak :o

    BalasHapus
  2. Aku br tau sempet ada dibikin patung2 itu... Trakhir ksana 2013 mba. Sedih sih liatnya :( .. Kasian para pemilik tanah, rumah yg jd korban..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak sedih banget :( aku aja tiap lewat selalu merinding. Padahal cuma lewat doang

      Hapus

Posting Komentar