Rahmania Santoso : Gugusan Pulau Nusantara |
Belum lama tidur, subuh sudah datang membangunkan saya. Saya dan Fiska segera sholat subuh lalu tidur lagi. Hehehe. Pukul 7 pagi saya cek HP, tidak ada notifikasi satupun dari Deri. Saya pikir dia mungkin masih tidur, jadi yaaa saya juga tidur lagi. Sampai akhirnya pukul 9 dia telepon sambil menanyakan kepastian kapan berangkat. “Kamu cuma mau pindah tidur aja ta di Jakarta? Ayo cepet, katanya mau jalan!”, Deri yang nadanya setengah ngelucu itu kemudian mematikan teleponnya. Saya bersiap, sarapan dan berangkat pukul 10 pagi. Kami cuma berdua karena Fiska ada les di hari minggu dan nggak bisa ditinggal. Dasar anak rajin!
Hari ini
kami akan pergi ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Gara-gara saya telat
bangun jadi Deri bilang konsekuensinya kita nggak akan pergi ke tempat lain
karena TMII itu luas banget dan nggak akan habis dalam waktu sehari, apalagi cuma setengah hari. Ceritanya dia ngambek karena gagal berangkat dari pagi, kasian.
Dari kos
Deri, saya berjalan lewat gerbang belakang STAN kemudian pergi ke arah gerbang depan.
Kami nunggu angkot lewat untuk mengantar ke stasiun Pondok Ranji. Angkot dengan
harga standart Rp5 ribu untuk sekali perjalanan dari STAN ke persimpangan dekat
stasiun. Dari persimpangan itu kita harus berjalan sedikit ke arah stasiun.
Kalau mau naik angkot lagi boleh saja sih, tapi jaraknya masih wajar ditempuh
dengan berjalan kaki. Daripada buat naik angkot, mending duitnya disimpan buat beli
minuman. Jakarta masih panas!
Sesampainya di stasiun, saya yang udik ini mulai sumringah. Acikkkk naik KRL! Ini pertama
kalinya loh, saya jadi excited banget. Buat yang belum tahu, sistem pembayaran KRL itu pakai saldo. Jadi
kita dipinjami kartu yang bentuknya seperti kartu kredit yang nantinya akan
dikembalikan saat sudah berada di stasiun terkahir. Isi saldonya bisa di setiap
stasiun. Bisa bayar ke loket, bisa juga self service. FYI sih, nggak semua
stasiun menyediakan self service. Saya jadi heran, kenapa ya Jakarta masih
macet? Padahal KRL ini jarang sepi, yang naik angkot juga banyak, tapi kok
masih banyak juga kendaraan pribadi berceceran di jalan raya. Kayaknya sih
kurang banyak armada dan rute yang lebih detail buat angkutan umum. Ah, andai saja semua orang
Jakarta nggak cuma mengeluh tentang macet, tapi mau turut andil memanfaatkan
transportasi umum. Saya saja lebih betah ada di KRL daripada di jalanan. Adem
sih, Hihi.
Dari Stasiun
Pondok Ranji saya naik KRL kurang lebih 2 jam ke Stasiun Pasar Minggu. Bayarnya
sekitar Rp3 ribu gitu, super hemat! Dari Stasiun Pasar Minggu saya masih harus
naik angkot satu kali untuk sampai di gerbang depan TMII. Kalau naik angkot,
udah nggak bisa minta nyaman lagi sih. Pasti sesak dan ongkosnya lebih mahal.
Pas bayar, beneran! Rp8 ribu harus saya keluarkan buat bayar angkot.
Kalau kamu juga
membayangkan gerbang TMII ada di depan mata waktu turun dari angkot, ya berarti
kita sama-sama ndeso! Setelah turun dari angkot, saya masih harus berjalan lagi
sekitar 200 meter karena gerbangnya ada jauh di dalam. Untungnya, harga tiket
TMII diluar ekspektasi saya (murah banget) Rp 10 ribu udah bisa masuk dan
melihat miniaturnya Indonesia.
Pertama kali
lewat gate pembayaran, saya langsung amaze lihatnya. Wawww! Saya di Jakarta
beneran loh, dan sekarang lagi di TMII. Ahh senangnyaa! Saya langsung minta difoto
di depan miniatur Monas. Suasananya asyik sekali. Banyak anak kecil berlarian
bersama sekelompoknya yang masih sama-sama setinggi pohon jagung. Adapula
keluarga yang menggelar tikar bak piknik. Ya, mungkin ini memang salah
satu tempat piknik keluarga yang murah meriah di Jakarta. Tidak salah lagi! Dan
saya menikmati semua kehangatan tersebut.
Saya mulai
berkeliling. Sedikit-demi sedikit berjalan sambil berdecak kagum di dalam sini.
TMII ini bisa diibaratkan representasi dari Sabang sampai Merauke-nya Indonesia. Terdapat
beragam rumah adat atau yang biasa disebut dengan Anjungan. Bukan Anjungan Tunai Mandiri loh ya. Plakk!
Saya masuk ke beberapa Anjungan. Tidak hanya rumah kosong, namun rumah adat tersebut sudah lengkap bersama perabotan khas daerah tersebut beserta tuan rumahnya. Tentu tuan rumah yang saya maksud adalah patung pengantin dengan pakaian adatnya.
Saya masuk ke beberapa Anjungan. Tidak hanya rumah kosong, namun rumah adat tersebut sudah lengkap bersama perabotan khas daerah tersebut beserta tuan rumahnya. Tentu tuan rumah yang saya maksud adalah patung pengantin dengan pakaian adatnya.
Puas
berjalan-jalan di banyak Anjungan, saya melanjutkan perjalanan ke arah danau,
terdapat gundukan pulau hijau di atas permukaan danau tersebut. Kata Deri,
gundukan pulau tersebut berbentuk peta nusantara. Tidak langsung percaya, saya
mencoba buktikan sendiri dengan melihat dari udara.
Untuk melihatnya, kami harus berjalan menuju stasiun Gondola. Tiket berhasil digenggam dengan biaya Rp40
ribu per orang. Kami harus mengantre cukup panjang bahkan
menunggu hingga ke deretan
tangga-tangga. Sampai tiba giliran saya untuk naik. Yeayy! Saya sangat excited
dan boom, kami terlempar keluar gedung dan melihat cantiknya daratan dari atas
sini. Mulai dari anjungan yang tadi dilewati, hingga danau yang ternyata
benar-benar membentuk gugusan pulau nusantara. Amazing!
Oh iya, naik gondola ini bisa digunakan pulang pergi. Maksudnya adalah naik dan turun di tempat yang sama. Namun bisa juga dijadikan sebagai alat transportasi jika malas berjalan kaki dari arah semula.
Oh iya, naik gondola ini bisa digunakan pulang pergi. Maksudnya adalah naik dan turun di tempat yang sama. Namun bisa juga dijadikan sebagai alat transportasi jika malas berjalan kaki dari arah semula.
Tidak lama setelah itu kami masuk ke Istana Anak yang bentuknya mirip castle di disney land. Ceritanya Istana ini memang sengaja dibangun mirip dengan cerita dongeng Cinderella. Berbeda dengan tempat lain di TMII, disini saya harus membayar Rp15 ribu untuk masuk, berfoto dan berjalan-jalan di Istana Anak. Tempat satu ini cukup ramai, didalam bangunannya terdapat pameran wayang dan juga permainan tradisional untuk anak-anak. Bangunan megah berwarna merah cerah ini tersusun atas empat lantai dengan ruang terbuka di lantai keduanya. Pastinya, tempat ini juga asyik dijadikan spot berfoto.
Sore telah tiba, saya dan Deri beristirahat sejenak dan menunaikan sholat
Ashar. Beruntungnya saya punya teman yang selalu menjaga ibadahnya dimanapun
berada. Perjalanan saya jadi terasa lebih tenang.
Sore itu, langit
terlihat mendung. Kami segera berjalan menuju pintu keluar. Belum sampai
disana, hujan turun sangat deras membuat saya dan Deri terpaksa berteduh lebih
lama. Saking laparnya perut ini, kami sepakat untuk berteduh sekaligus makan di
CFC. Kenapa harus CFC? Karena adanya di depan mata cuma itu. Mana mahal banget
lagi! Wanna cry, huh!
Hujan mulai berganti menjadi gerimis,
kami kembali ke Bintaro melalui rute yang tidak berbeda dari jalan berangkat. Ada hal yang tidak
bisa saya lupakan hingga hari ini. Sesampainya di stasiun Pondok Ranji, saya
berjalan ke arah Angkot yang sedang ngetem. Di pinggir jalan terlihat gerobak mangkal
dengan tulisan tempe mendoan. Karena sering nonton mendoan di FTV, saya jadi pengen. Saya mampir untuk beli dan ketagihan. Hehe.
Harganya seribu per lembar tempenya. Sekilas, tempe mendoan tampak sama dengan
tempe pada umumnya. Bedanya adalah tempe ini sangat tipis dan dilumuri tepung
dengan irisan daun jeruk yang menebarkan aroma khas ketika digoreng. Hmm
rasanya ingin kembali ke Bintaro demi tempe mendoan!
Deri mengantar saya dengan selamat sampai di depan kos Fiska. Saya langsung mandi, sholat dan nggosip sama Fiska. Kami ngobrol kesana kesini hingga rasa ngantuk mulai datang. Kami memutuskan untuk tidur karena esok harinya saya harus kembali ke Malang dan Fiska harus berangkat ke kampus pagi-pagi.
Well,
holiday is almost over. But almost is never enough. Apasih! Deri dan Fiska
sama-sama nggak bisa antar saya balik ke Stasiun. Deri malah berangkatnya harus
lebih pagi dari Fiska. Sebelum kembali ke Malang, ada satu misi yang belum
terselesaikan. Saya nggak mau rugi dong! Fiska menemani saya makan ketoprak di dekat kampusnya pagi itu. Makanan yang
paling pengen saya coba karena paling sering saya tonton di FTV juga, haha. Ketoprak
adalah salah satu makanan khas Jakarta yang punya banyak pecinta. Isinya sangat sederhana, tahu
rebus, lontong dan bihun kemudian di siram bumbu kacang yang mirip bumbunya
tahu telor. Kerupuknya mantap banget karena ditaruh di toples gueedee di depan
meja saya. Ambil sepuasnya, sikaaaattttt!
Kereta saya
berangkat pukul 2 siang. Sambil menunggu keberangkatan, saya minta Deri mendekte jalur KRL untuk pergi ke
Tanah Abang. And I feel, this is the real journey. Sesampainya di Stasiun Tanah
Abang, saya langsung bertanya ke petugas untuk akses ke pasar. Ternyata Tanah Abang
yang pasar itu ya di depannya stasiun pas ini. Saya masuk lewat pintu mana juga
nggak tahu. Asal lewat saja selama ada jalan sambil memperhatikan dagangan dalam ribuan kios. Dasarnya saya suka main ke pasar,
jadilah saya terlalu betah nawar-nawar dagangan orang. Buat saya, belanja di pasar itu nikmat,
apalagi ini Jakarta yang saya impikan, ya saya pengen dong beli oleh-oleh
buat teman-teman yang ada di rumah biar mereka ikut merasakan kebahagiaan saya
pergi ke Jakarta. Akhirnya, setelah hidup hemat di perantauan, pengeluaran saya membengkak di Tanah Abang. Huwaaa! Setelah sadar duit saya sisa Rp200 ribu saja, saya langsung stop shopping-shopping. Iya sih tinggal pulang aja, tapi kalau di perjalanan pulang saya butuh duit gimana dong kalau nggak bersisa?
Setelah keliling, tawar-menawar dan tentu nyasar, saya segera bertanya ke pedagang yang ada untuk ditunjukkan jalan keluar. Ada yang bilang ke kanan, ada yang bilang ke kiri, depan belakang. Waduh! Ya nggak bisa disalahkan, lha wong memang jalan keluarnya banyak banget. Akhirnya saya bilang deh "jalan keluar yang dekat sama stasiun Tanah Abang itu loh, Pak". Barulah mereka mengerti. Sebenarnya saya sudah mencoba mengingat-ingat jalan yang saya lewati, but this is crazy! Kok saya kayak muter-muter tanpa jalan keluar gitu loh di Tanah Abang. Huh! Pas udah ngelihat jalan raya, Legaaaaaa! Saya segera jalan cepat menuju stasiun untuk mengejar waktu. Dari Stasiun Tanah Abang saya berangkat ke Pasar Senen, stasiun utama buat pergi ke Malang. Hmm, hard to leave yaaa Jakarta.
Setelah keliling, tawar-menawar dan tentu nyasar, saya segera bertanya ke pedagang yang ada untuk ditunjukkan jalan keluar. Ada yang bilang ke kanan, ada yang bilang ke kiri, depan belakang. Waduh! Ya nggak bisa disalahkan, lha wong memang jalan keluarnya banyak banget. Akhirnya saya bilang deh "jalan keluar yang dekat sama stasiun Tanah Abang itu loh, Pak". Barulah mereka mengerti. Sebenarnya saya sudah mencoba mengingat-ingat jalan yang saya lewati, but this is crazy! Kok saya kayak muter-muter tanpa jalan keluar gitu loh di Tanah Abang. Huh! Pas udah ngelihat jalan raya, Legaaaaaa! Saya segera jalan cepat menuju stasiun untuk mengejar waktu. Dari Stasiun Tanah Abang saya berangkat ke Pasar Senen, stasiun utama buat pergi ke Malang. Hmm, hard to leave yaaa Jakarta.
FYI, setelah
jalan-jalan ber-AC pakai KRL kemana-mana selama di Jakarta, pulangnya saya
harus rela naik kereta api Matarmaja yang isinya sebangku 3 orang. Sial! Gara-gara harganya murah, saya harus tanggung akibat berlebih nih. Dari harga kereta berangkat Rp250
ribu, dan kereta pulang cuma Rp109 ribu. Kan jauh banget ya selisihnya! Perjalanannya jadi lebih lama, 16
jam. Buseettttt! Rasakan, akibat kengiritan sendiri. Hiks. But it’s okay. Bukan
traveling namanya kalau cuma bahagia yang bisa diceritakan. Yang jelas,
kebahagiaan dan duka selama keberangkatan hingga perjalanan pulang, akan selalu menjadi
memori yang sulit dilupakan. Sayangnya, seperti yang saya jelaskan di part satu, saya juga kehilangan banyak foto selama d Jakarta. Hopefully, you guys can enjoy my story with or without any pictures.
Jadi, kapan
kita ngetrip bareng? :)
Komentar
Posting Komentar