Akhir-akhir ini saya sering mendengar
beberapa teman yang mengeluh baik di media sosial atau saat kita bertemu
langsung.
"Jalanan ini nggak di lewatin angkot,
temen lagi pada kelas, gojek di sweeping dan kuliah jam 1.
"
Tulisan @rizkabum di Instagram
Stories-nya beberapa waktu kemarin.
Intinya, dia kebingungan harus naik apa
untuk pergi ke kampus sedangkan Go-Jek sedang di sweeping.
Sedangkan saat itu sudah hampir waktunya dia masuk kelas.
Ada juga yang dengan gamblang menceritakan
kesusahannya karena angkot yang tidak beroperasi. Sedangkan dia adalah konsumen
sejati angkot. Hingga dia harus berjalan jauh untuk menuju kampus.
Sudah menjadi rahasia umum kalau hampir
setiap hari, kira-kira sejak akhir bulan februari 2017 kemarin semua sopir
angkot Malang demo karena merasa resah atas kehadiran Go-Jek yang semakin
merajalela. Menurut kabar yang beredar, sopir angkot akan terus mogok
mengangkut penumpang hingga Walikota Malang menindak apa yang mereka keluhkan.
Dengan kata lain memberhentikan Go-Jek dan angkutan umum berbasis aplikasi
online serta sejenisnya untuk beroperasi di Kota Malang.
Untuk saya yang membawa kendaraan pribadi,
hal tersebut tidak begitu berdampak dalam kegiatan sehari-hari. Tapi saya tidak
tega dengan teman-teman yang memang bergantung pada angkutan umum, setiap hari
mereka harus kesusahan mencari alat transportasi karena kejadian ini. Angkot
tidak beroperasi, ingin naik Go-Jek tapi ketakutan. Warga merasa tidak aman
lagi. Berada di posisi serba salah tanpa menemukan solusi.
Saya tidak sedang berada di pihak Go-Jek
maupun Angkot. Opini ini bukan untuk menyudutkan pihak manapun. Tapi untuk
meluruskan yang sedang bengkok. Seharusnya kita bisa lebih dewasa dalam
menyikapi setiap tragedi. Terkadang kita lupa bersyukur dengan nikmat yang
telah diberikan Tuhan. Terus merasa kurang hingga menyalahkan orang lain atas
menurunnya pendapatan yang diperoleh. Bukannya setiap rejeki itu sudah diatur?
Tinggal seberapa besar usaha kita untuk meraih rejeki itu, yang sebaiknya
dicari dengan cara yang halal, hati yang ikhlas dan tidak saling melukai.
Lalu timbul pertanyaan, Siapa yang melukai
terlebih dahulu? Siapa yang sebenarnya patut disalahkan?
Bagaimana jika pertanyaan saling menyalahkan tersebut kita ganti
dengan "Sudahkah masing-masing dari kita introspeksi?"
Banyak pelanggan yang merasa pelayanan
yang diberikan oleh Angkot kurang memuaskan. Termasuk yang saya rasakan.
Membayar dengan harga yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Salahkah jika
kemudian hadir sebuah inovasi baru yang menawarkan kenyamanan dan keamanan
untuk memudahkan konsumen?
Setiap angkutan umum pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan. Go-Jek pun tidak akan dipilih mereka yang memang
lebih membutuhkan angkot. Baik angkot maupun Go-Jek, keduanya memiliki target
pasarnya masing-masing. Mereka yang tidak bisa atau belum bisa mengoperasikan
aplikasi online pasti akan tetap memilih alat transportasi konvensional.
Warga yang memburu kecepatan waktu juga
akan menentukan pilihannya sendiri.
Jujur, saya sebenarnya tidak pernah
sekalipun naik Go-Jek, tapi teman-teman mahasiswa banyak cerita kemudahannya.
Banyak teman yang memilih Go-Jek karena rumah mereka jauh di dalam gang dan
tidak dilewati angkot, sehingga dia harus berjalan kaki cukup jauh jika ingin
naik angkot, belum lagi harus oper angkot. Sedangkan Go-Jek menawarkan
kepraktisan untuk menjemput dan mengantar tepat sampai ditempat tujuan.
Banyak teman yang mengeluhkan kejadian
demo dan mogok beberapa waktu kemarin yang semakin membuat macet jalanan.
Sangat disayangkan juga keputusan mogok yang dipilih para sopir. Seharusnya
waktu yang sangat berharga itu bisa digunakan untuk mencari nafkah demi
menghidupi anak istri, atau sekedar membelikan Aice (merk es krim enak dengan
harga terjangkau) untuk anaknya.
Sayangnya tidak semua orang berpikir
demikian.
Kemudian dalam sebuah diskusi ringan
antara saya dan teman-teman muncul sebuah pertanyaan, "Apakah ini hanyalah
monopoli politik semata? Sebuah monopoli yang mencoba memainkan emosi
kita".
Saya tidak paham siapakah dalang dibalik
kejadian mengerikan ini. Yang jelas, sebagai Warga Negara Indonesia yang
mengaku Bhineka Tunggal Ika dan berideologi Pancasila, seharusnya kita bisa
sevisi dalam perbedaan. Seharusnya juga paham bahwa Negara yang kita pijak
tanahnya ini merindukan kedamaian dan persatuan. Kita seringkali bertindak sok
benar untuk menindas orang lain yang juga punya hak atas bumi yang kita
tinggali, terlebih orang-orang kecil. Kemudian kita rela dijadikan budak oleh
penguasa yang menjanjikan keadilan, padahal mereka yang membumi hanguskan
persatuan diantara kita. Kita mudah terhasut oleh janji manis dan iming-iming
rupiah, bukan?
Sebenarnya adakah monopoli dalam kejadian
ini? Mari kita cari tahu bersama untuk kelanjutan kisah yang lebihn baik.
Disamping sebuah tragedi yang terjadi
sejak beberapa hari kemarin, saya secara pribadi juga mengucap banyak terima
kasih kepada teman-teman di Kota Malang yang sudah rela berbagi waktu, tenaga
bahkan materi untuk orang-orang yang membutuhkan tumpangan dalam berpergian.
Beberapa kali saya membaca artikel terkait Relawan Khusus yang membantu
mengantar dan menjemput warga secara gratis selama Angkot mogok mengangkut
penumpang. Dari kegiatan sosial ini, saya percaya bahwa sebenarnya warga
Indonesia khususnya Kota Malang, masih memiliki empati dan hati yang tulus
untuk bergotong-royong membantu sesama.
Sebelum tulisan ini di posting, saya
sempat membaca sebuah kabar yang menjelaskan bahwa besok (10/3) angkutan kota
Malang akan beroperasi kembali dan Go-Jek serta angkutan online lainnya
dilarang beroperasi. Saya yang tidak punya kuasa hanya bisa berharap, semoga
ini menjadi keputusan terbaik dan tidak lagi mendatangkan perselisihan di Kota
Malang.
Aku ngakak. Di tulisan seserius ini masih ada aicenya 😂😂😂
BalasHapus